Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan
anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di
sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah
lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain,
sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.
Pada
suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah
bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak
menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi
merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup
miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada
emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang
pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan
emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak
Lancang mengizinkan.
Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang
meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi
orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai
pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku
melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan
ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun
berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya.
“Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini.
Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang
menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan
janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata,
“Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam
Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan
nanti.”
Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung
halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan
kesukaan si Lancang.
Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan.
Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki
berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun
cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu,
nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang
diri.
Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar
bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun
sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?”
tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta
pora di atas kapal,” tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun
mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku!
Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban
dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari
makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga
membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di
atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.
Sejak
berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta
pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang
pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal.
Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si
Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang.
“Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji
si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat
kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu
memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang
terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya hati emak si Lancang
saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si
Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia
bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan
pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk
menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.
Sesampainya di
pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal
si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak
satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak
kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal,
tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek!
Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal
si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua
itu.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang
yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong!
Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang
berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya
mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.
“Oh,
Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si
Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si
Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua
dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir
perempuan gila itu dari kapalku!” Anak buah si Lancang mengusir emak si
Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali
Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya.
Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati
sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia
menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu
kepadanya.
Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil
lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya
dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan
dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau
mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya
kekuasaan-Mu!”
Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus
dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang
Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur
berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan,
sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.
“Emaaak…, si Lancang
anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si
Lancang di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan
lagi. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama
kapal megah itu.
Barang-barang yang ada di kapal si Lancang
berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam
kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi
Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar
dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong
di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah
yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang
bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera
kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda
akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang
yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.
Sejak
peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar
bukan saja disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi
juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si Lancang di Danau Lancang.
Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi Riau
ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar
meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman
penduduk di sekitarnya.
Sumber: seasite.niu.edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar